Tanggapan Suzuki Soal Diameter Nozzle BBM yang Dibedakan

Jakarta - Kementerian Perindustrian (Kemenperin) kembali mengeluarkan wacana untuk mencegah low cost and green car (LCGC) 'nenggak' premium dengan membedakan diameter nozzle BBM pada masing-masing SPBU.

Menanggapi wacana tersebut, PT Suzuki Indomobil Sales (SIS) mengaku hanya bisa mengikut aturan pemerintah. Produsen tidak akan mencegah rencana tersebut jika dinilai pemerintah baik untuk menekan penggunaan BBM subsidi.


"Ikuti aturan pemerintah saja. Kita dari sisi industri hanya bisa mengikuti dan mendukung aturan pemerintah," kata Marketing & DND Director PT Suzuki Indomobil Sales (SIS), Davy J. Tuilan ketika dihubungi, Selasa (8/4/2014).


Menurut Davy, jika memang aturan tersebut solusi yang paling tepat untuk menekan penggunaan BBM subsidi, maka sebaiknya segera lakukan dengan cepat, namun sebaiknya lakukan evaluasi dan sosialisasi agar tidak terjadi salah paham di lapangan.


Terkait rencana pembedaan nozzle BBM pada tiap SPBU, meski PT SIS mengaku siap mendukung namun PT SIS hingga saat ini belum merasa dilibatkan oleh pemerintah.


"Sampai saat ini kami belum ada informasi resmi dari pemerintah, saya juga belum punya informasi mengapa rencananya seperti itu," tutup Davy.


Sebelumnya diberitakan jika pemerintah sedang menyiapkan aturan untuk membatasi pemakaian BBM subsidi pada mobil murah atau low cost green car (LCGC). Rencananya, para pabrikan LCGC harus memodifikasi lubang tempat nozzle pengisian BBM.


Menteri Perindustrian (Menperin) MS Hidayat telah mengirimkan surat resmi kepada Menkeu Chatib Basri dalam upaya pengendalian penggunaan BBM bersubsidi pada mobil murah. Salah satunya adalah memodifikasi tempat masuknya nozzle BBM pada mobil.


"Kementerian Perindustrian mendukung pembedaan diameter nozzle pengisian dari SPBU untuk BBM RON 92 ke atas dan di bawah RON 92," jelas surat resmi Hidayat itu, dikutip Selasa (1/4/2014).


Produsen mobil siap menyesuaikan produknya untuk memenuhi perubahan dimensi nozzle SPBU ini dengan tenggat waktu tertentu. Untuk itu disarankan institusi yang membina SPBU dalam hal ini BPH Migas (Kementerian ESDM) bisa melaksanakan kebijakan ini. Sedangkan Kementerian Perindustrian akan berkoordinasi untuk penyusunan standar produk dan regulasi produknya.


Sanksi berupa pencabutan fasilitas fiskal dapat diberikan pada produsen yang tidak menepati persyaratan dalam Surat Keputusan Menteri Perindustrian. Sedangkan sanksi di operasional SPBU sebaiknya dikoordinasikan dengan institusi terkait karena melibatkan banyak otoritas.


"Hal ini mengingat mobil yang sudah beredar adalah merupakan hal milik pembeli dengan segala konsekuensinya, serta kepemilikan dan operasional SPBU mengikuti rambu-rambu tertentu," sebutnya.